Novel bersampul merah dengan ilustrasi gadis berpayung ini berkisah tentang kehidupan seorang pemuda bernama Borno. Sejak kecil Borno tinggal di kota Pontianak, di gang sempit di tepi Sungai Kapuas. Ayahnya adalah seorang nelayan dan pengemudi sepit (perahu dengan mesin tempel) dan ibunya hanya ibu rumah tangga. Masa kecilnya dihabiskan dalam suasana yang sederhana hingga suatu ketika ayahnya meninggal karena tersengat ubur-ubur. Borno dan ibunya seperti kehilangan pegangan hidup apalagi setelah tahu ayahnya mendonorkan jantung pada seorang pasien. Rasa kehilangan itu semakin menjadi-jadi. Tapi hidup harus terus berlanjut.
Tahun-tahun berlalu hingga Borno lulus SMA dan diterima bekerja di sebuah pabrik karet. Borno selalu bekerja keras, menekuni pekerjaan sebagai buruh pabrik karet dengan sepenuh hati. meskipun orang-orang selalu menyindirnya dengan mengatakan badannya bau karena setiap hari berkutat dengan limbah karet. Borno memiliki teman sejak kecil yang bernama Andi. Andi adalah keturunan Bugis. Ayahnya memiliki bengkel kecil dan jadilah Andi sehari-hari membantu ayahnya bekerja di bengkel meskipun pekerjaannya tidak pernah dianggap baik oleh ayahnya. Selain Andi ada pula Koh Acong, seorang Tionghoa yang memiliki toko kelontong. Ada Cik Tulani, orang padang pemilik sebuah warung makan dan Pak Tua, orang bijak yang sering memberikan nasihat. Koh Acong, Cik Tulani dan pak Tua adalah kawan baik almarhum ayah Borno. Mereka semua sudah seperti keluarga.
Borno tidak bertahan lama bekerja di pabrik karet karena pabrik itu bangkrut. Dia pernah mendaftar menjadi karyawan seorang pengusaha sarang walet. Tapi Borno tak sampai hati menekuni pekerjaan itu. Baru melihat gambar sarang walet saja ia sudah muntah, benar-benar muntah di depan calon bosnya yang sedang menjelaskan berbagai hal tentang liur walet yang dijadikan sup dan potensi ekonominya. Setelah itu, Borno mencoba bekerja di dermaga pelampung (dermaga feri), menjadi penjaga pintu dan memeriksa karcis calon penumpang. Semua penghuni gang sempit tidak ada yang mendukung pekerjaan Borno di dermaga pelampung, terutama Bang Togar, pengemudi sepit yang juga ketua PPSKT (Persatuan Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). Bang Togar memprovokasi pengemudi sepit lainnya agar memboikot Borno, tidak seorang pun pengemudi sepit yang boleh menyeberangkan Borno ke dermaga pelampung. Jadilah Borno berangkat dan pulang kerja naik angkot, harus berputar lewat jalan raya yang tentunya lebih jauh.
keberadaan pelampung atau kapal feri memang menjadi masalah bagi para pengemudi sepit. Sebelum ada kapal feri, sepit adalah sarana transportasi andalan masyarakat Sungai kapuas. Namun semenjak ada kapal feri, sepit seperti kehilangan pamor. Banyak masyarakat yang beralih menggunakan feri sehingga menyebabkan banyak pengemudi sepit gulung tikar. Termasuk kakek Borno yang katanya dahulu adalah salah satu juragan sepit. Satu persatu sepit kakek Borno terpaksa dijual hingga akhirnya mereka jatuh miskin. Tidak heran jika para pengemudi sepit menganggap pelampung adalah musuh mereka.
Masa kerja Borno di dermaga feri juga tidak berlangsung lama. Ia memilih mundur setelah tahu seperti apa pekerjaan teman-temannya di sana. banyak pekerja yang melakukan kecurangan dengan menaikkan penumpang gelap (penumpang yang tidak memiliki karcis) yang setiap hari jumlahnya tak terhitung. Para penumpang gelap itu hanya disuruh membayarkan uang separuh harga tiket. Uang itu nantinya akan dibagi antara para oknum penjaga karcis. Borno yang merupakan bujang dengan hati paling lurus di sepanjang sungai kapuas akhirnya memilih mundur daripada harus terlibat dalam pekerjaan itu. Dari dermaga pelampung, ia pindah menjadi karyawan SPBU terapung. Sementara menggantikan salah satu karyawan yang sedang mudik ke Jawa. Pekerjaan itu pun akhirnya ia kembalikan kepada karyawan semula setelah karyawan itu kembali ke Pontianak.
Borno akhirnya memutuskan menjadi pengemudi sepit setelah meminta pertimbangan pada Pak Tua, Koh Acong, dan Cik Tulani.Bahkan Bang Togar yang selama ini sering bersikap semena-mena terhadapnya memberikan hadiah berupa sebuah sepit baru yang merupakan hasil patungan dari para penghuni gang sempit. Borno menikmati hari-harinya mengemudikan "Borneo", sepitnya. Suatu hari ada seorang gadis Tionghoa yang menjadi penumpangnya. Borno terpikat oleh keanggunan gadis sendu menawan itu. Sesampainya di dermaga seberang, Borno menemukan sebuah amplop merah kecil tergeletak di dasar sepitnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat sekitar Sungai Kapuas, ketika turun dari sepit mereka akan meletakkan uang di dasar bangku untuk membayar ongkos sepit.