Rabu, 28 Mei 2014

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah (novel)

Diposting oleh Istiqomah's Blog di Rabu, Mei 28, 2014

Novel bersampul merah dengan ilustrasi gadis berpayung ini berkisah tentang kehidupan seorang pemuda bernama Borno. Sejak kecil Borno tinggal di kota Pontianak, di gang sempit di tepi Sungai Kapuas. Ayahnya adalah seorang nelayan dan pengemudi sepit (perahu dengan mesin tempel) dan ibunya hanya ibu rumah tangga. Masa kecilnya dihabiskan dalam suasana yang sederhana hingga suatu ketika ayahnya meninggal karena tersengat ubur-ubur. Borno dan ibunya seperti kehilangan pegangan hidup apalagi setelah tahu ayahnya mendonorkan jantung pada seorang pasien. Rasa kehilangan itu semakin menjadi-jadi. Tapi hidup harus terus berlanjut.

Tahun-tahun berlalu hingga Borno lulus SMA dan diterima bekerja di sebuah pabrik karet. Borno selalu bekerja keras, menekuni pekerjaan sebagai buruh pabrik karet dengan sepenuh hati. meskipun orang-orang selalu menyindirnya dengan mengatakan badannya bau karena setiap hari berkutat dengan limbah karet. Borno memiliki teman sejak kecil yang bernama Andi. Andi adalah keturunan Bugis. Ayahnya memiliki bengkel kecil dan jadilah Andi sehari-hari membantu ayahnya bekerja di bengkel meskipun pekerjaannya tidak pernah dianggap baik oleh ayahnya. Selain Andi ada pula Koh Acong, seorang Tionghoa yang memiliki toko kelontong. Ada Cik Tulani, orang padang pemilik sebuah warung makan dan Pak Tua, orang bijak yang sering memberikan nasihat. Koh Acong, Cik Tulani dan pak Tua adalah kawan baik almarhum ayah Borno. Mereka semua sudah seperti keluarga.

Borno tidak bertahan lama bekerja di pabrik karet karena pabrik itu bangkrut. Dia pernah mendaftar menjadi karyawan seorang pengusaha sarang walet. Tapi Borno tak sampai hati menekuni pekerjaan itu. Baru melihat gambar sarang walet saja ia sudah muntah, benar-benar muntah di depan calon bosnya yang sedang menjelaskan berbagai hal tentang liur walet yang dijadikan sup dan potensi ekonominya. Setelah itu, Borno mencoba bekerja di dermaga pelampung (dermaga feri), menjadi penjaga pintu dan memeriksa karcis calon penumpang. Semua penghuni gang sempit tidak ada yang mendukung pekerjaan Borno di dermaga pelampung, terutama Bang Togar, pengemudi sepit yang juga ketua PPSKT (Persatuan Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). Bang Togar memprovokasi pengemudi sepit lainnya agar memboikot Borno, tidak seorang pun pengemudi sepit yang boleh menyeberangkan Borno ke dermaga pelampung. Jadilah Borno berangkat dan pulang kerja naik angkot, harus berputar lewat jalan raya yang tentunya lebih jauh.

keberadaan pelampung atau kapal feri memang menjadi masalah bagi para pengemudi sepit. Sebelum ada kapal feri, sepit adalah sarana transportasi andalan masyarakat Sungai kapuas. Namun semenjak ada kapal feri, sepit seperti kehilangan pamor. Banyak masyarakat yang beralih menggunakan feri sehingga menyebabkan banyak pengemudi sepit gulung tikar. Termasuk kakek Borno yang katanya dahulu adalah salah satu juragan sepit. Satu persatu sepit kakek Borno terpaksa dijual hingga akhirnya mereka jatuh miskin. Tidak heran jika para pengemudi sepit menganggap pelampung adalah musuh mereka.

Masa kerja Borno di dermaga feri juga tidak berlangsung lama. Ia memilih mundur setelah tahu seperti apa pekerjaan teman-temannya di sana. banyak pekerja yang melakukan kecurangan dengan menaikkan penumpang gelap (penumpang yang tidak memiliki karcis) yang setiap hari jumlahnya tak terhitung. Para penumpang gelap itu hanya disuruh membayarkan uang separuh harga tiket. Uang itu nantinya akan dibagi antara para oknum penjaga karcis. Borno yang merupakan bujang dengan hati paling lurus di sepanjang sungai kapuas akhirnya memilih mundur daripada harus terlibat dalam pekerjaan itu. Dari dermaga pelampung, ia pindah menjadi karyawan SPBU terapung. Sementara menggantikan salah satu karyawan yang sedang mudik ke Jawa. Pekerjaan itu pun akhirnya ia kembalikan kepada karyawan semula setelah karyawan itu kembali ke Pontianak.

Borno akhirnya memutuskan menjadi pengemudi sepit setelah meminta pertimbangan pada Pak Tua, Koh Acong, dan Cik Tulani.Bahkan Bang Togar yang selama ini sering bersikap semena-mena terhadapnya memberikan hadiah berupa sebuah sepit baru yang merupakan hasil patungan dari para penghuni gang sempit. Borno menikmati hari-harinya mengemudikan "Borneo", sepitnya. Suatu hari ada seorang gadis Tionghoa yang menjadi penumpangnya. Borno terpikat oleh keanggunan gadis sendu menawan itu. Sesampainya di dermaga seberang, Borno menemukan sebuah amplop merah kecil tergeletak di dasar sepitnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat sekitar Sungai Kapuas, ketika turun dari sepit mereka akan meletakkan uang di dasar bangku untuk membayar ongkos sepit.



Borno mengira amplop merah itu adalah barang berharga milik penumpang yang tidak sengaja terjatuh. Ia pun bertanya kepada para pengemudi sepit lainnya barangkali ada orang yang mencari sebuah amplop merah yang tertinggal. Tapi tidak pernah ada orang yang mencarinya. Malah, suatu hari Borno melihat gadis sendu menawan yang pernah menjadi penumpang sepitnya sedang membagi-bagikan angpau merah kepada anak-anak SD dan para pengemudi sepit. Tahulah Borno bahwa amplop yang ia anggap istimewa itu ternyata hanya sebuah angpau.

Setelah pertemuan kali itu, Borno dan si sendu menawan yang ternyata bernama Mei itu semakin akrab. Mei adalah seorang guru magang di sebuah yayasan. Ia kuliah di Surabaya. Setelah keakraban yang mereka jalin sekian lama, Borno harus menerima kenyataan bahwa Mei harus kembali ke Surabaya untuk melanjutkan kuliahnya. Borno seperti kehilangan sesuatu dalam hidupnya. Tapi tak ada yang bisa ia perbuat. Ia tahu, hatinya mulai merasakan cinta pada Mei tapi ia tidak pernah memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan perasaannya.

Suatu ketika Pak tua sakit dan ia minta diantar berobat ke Surabaya, ke sebuah balai pengobatan alternatif. Di sanalah akhirnya Borno dan Mei kembali bertemu. Tapi pertemuan itu hanya sesaat. Mereka harus berpisah karena pengobatan Pak Tua sudah selesai. Untuk kedua kalinya, Borno merasakan kehilangan. Setelah beberapa bulan lamanya, takdir membawa kabar gembira bagi bujang dengan hati paling lurus di sepanjang Sungai Kapuas itu. Mei kembali ke Pontianak. Saat itu, Borno tidak lagi menjadi pengemudi sepit. Ia telah menjadi pemilik bengkel, hasil patungan dengan Andi dan Bapak Andi. Borno menjual sepitnya untuk mendapatkan bengkel itu. Meskipun awalnya sulit karena menjadi korban kasus penipuan, akhirnya bengkel itu bisa maju juga. kesuksesan Borno saat itu tidak terlepas dari peran Mei. Mei beberapa kali menghadiahkan buku tentang mesin dan Borno dengan tekun mempelajarinya hingga ia bisa menjadi montir yang hebat.

Namun pertemuan itu tidak lantas membuat urusan cinta mereka menjadi mudah. Mereka berdua masih saja tidak berani berterus terang satu sama lain. Terlebih lagi setelah Mei memutuskan untuk menjauh dari kehidupan Borno dengan alasan kedekatan di antara mereka hanya akan berakhir menyakitkan. Mei yang melewati masa kecilnya di Pontianak hingga usia 12 tahun, ternyata adalah anak dari dokter yang mengoperasi ayah Borno. Mama Mei dibutakan oleh iming-iming reputasi sehingga tega membantu proses pendonoran jantung itu sedangkan pada kenyataannya ayah Borno mengkin saja masih bisa diselamatkan. Setelah operasi itu, mama Mei merasakan pukulan besar dalam jiwanya. Ia merasa sangat bersalah begitu melihat Borno dan ibunya. Penyesalan itu membuat mama Mei depresi hingga fisiknya jatuh sakit selama bertahun-tahun dan akhirnya meninggal. Semula kedatangan Mei ke Pontianak hanyalah ingin berterus terang kepada Borno mengenai peristiwa itu. Tapi ia tak sanggup mengatakannya hingga akhirnya Mei menuliskan permintaan maafnya dalam sebuah surat yang dimasukkan ke dalam amplop merah dan ia jatuhkan di dasar sepit Borno. Amplop itulah yang ditemukan oleh Borno pada awal pertemuan mereka.

Di tengah ketidakpastian hubungan antara Borno dan Mei, muncul tokoh sarah, seorang dokter gigi yang merupakan teman masa kecil Mei. Dan ayah Sarah ternyata adalah orang yang menerima donor jantung dari ayah Borno. Sudah bertahun-tahun keluarga Sarah mencari keluarga Borno, tapi tak kunjung ketemu. Setelah pertemuan dengan Sarah, keluarga mereka semakin akrab. keluarga Sarah menganggap Borno dan ibunya sebagai bagian dari keluarga mereka. Bahkan Pak Tua seringkali menjodoh-jodohkan Borno dengan Sarah. Tapi, hati Borno tetap milik Mei. Seruwet apapun jalan mereka selama ini, Borno tetap mencintai Mei seorang. Setelah semua rahasia yang menyakitkan itu terungkap, Borno juga tetap mencintai Mei hingga akhirnya mereka mendapatkan akhir yang bahagia.

Source : http://beautifulsunflo.blogspot.com/2013/01/novel-kau-aku-dan-sepucuk-angpau-merah.html#more

0 komentar:

Posting Komentar

 

Istiqomah's Blog Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea